Jumat, 03 September 2010

UMAR IBN ABDUL AZIZ SEBAGAI KHAMIS AL-KHULAFA AL-RASYIDIN

Goresan : Sukrin Thaib
A. Pendahuluan
Pada tahun 41 H. setelah kemenanan Muawiyah bin Abi Sufyan (41—60 H) atas Ali bin Abi Thalib (wafat 41 H) dalam peristiwa tahkim (arbitrase) maka berakhirlah masa a1-Khulafa al-Rasyidin dan mulailah pemerintahan Bani Umayyah (Daulah Bani Umayyah) Semenjak khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan - khalifah Umayyah pertama - sampai pada khalifah Sulaiman ibn Abdil Malik (92-99 H) - khalifah Umayyah yang ketujuh-, pola pemerintahan jauh menyimpang dari pola (sistem) al-Khulafa al-Rasyidin. Sehingga muncul asumsi bahwa selama 60 tahun berdirinya Daulah Bani Umayyah, rakyat tidak merasakan keadilan dan kedamaian sebagaimana masa al-Khulafa al-Rasyidin.
Ketika Umar ibn Abdul Aziz (99—101 H) diangkat menjadi khalifah Umayyah yang kedelapan, ia berusaha memulihkan kembali (restoration) pola pemerintahan al-Khulafa al-Rasyidin. Ia tergolong orang yang saleh dan adil, sekalipun sikapnya keras dalam pendirian. Kaum muslimin menganggap Umar ibn Abdul Aziz sebagai Khamis al-Khulafa al-Rasyidin ( The fifth pious Caliph or The fifth khulafaurrasyidin). selain itu, ia juga dijuluki Umar II, setelah Umar bin Khatab (Umar I).
Tulisan yang disajikan pada kesempatan ini ialah suatu analisis tentang kenapa Umar bin Abdul Aziz dianggap sebagai Khamis al-Khulafa al-Rasyidin ? sedangkan masa al-Khulafa al-Rasyidin itu sendiri sudah berakhir setelah wafatnya Ali ibn Abi Thalib sebagai Raabi’ al-Khulafa al-Rasyidin. Di samping itu, sebelum Umar ibn Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah, sudah ada tujuh deretan nama yang menjabat sebagai khalifah Umayyah, dari mulai khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60 H) sampai khalifah Sulaiman ibn Abdil Malik (92-99 H). Tulisan ini akan mencoba menjelaskan bagaimana riwayat hidup Umar ibn Abdul Aziz, kepribadiannya, kebijakan dan reformasi dalam pemerintahan.
Pendekatan yang digunakan dalam menganalisis permasalahan di atas ialah pendekatan sosiologis sebagai kerangka pemikiran teoritis, sedangkan bahan-bahan historis dipergunakan sebagai bahan pembuktian terhadap kerangka pemikiran. Adapun perspektif yang digunakan adalah perspektif struktural dan fungsional.

B. Riwayat Hidup Umar Ibn Abdul Aziz
Umar ibn Abdul Aziz dilahirkan di kota Hulwan dekat Kairo (suatu kota di Mesir). Ibunya bernama Laila Umi Ashim binti Ashim bin Umar bin Khattab (Tsani Al-Khulafa al-Rasyidin). Bapaknya bernama Abdul Aziz bin Marwan, seorang gubernur Mesir. Umar adalah seorang anak yang cerdas. Ketika berusia 9 tahun, ia sudah hafal al-Qur’an. Untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik, ía disekolahkan oleh bapaknya ke Madinah. Di Madinah ia tinggal bersama paman-paman ibunya. Di sana ía mendapat pendidikan dan bimbingan yang baik dari Shaleh bin Kisan seorang guru besar dan fuqaha yang saleh. Pendidikan yang diperolehnya itu sangat berpengaruh terhadap sikapnya yang terpuji.
Setelah Umar ibn Abdul Aziz menginjak usia remaja, ia kawin dengan Fatimah - saudara dari Walid - putri pamannya (Abdul Malik). Semenjak itu ía mengenal dan mengenyam kehidupan istana yang penuh dengan kenikmatan dan gemerlapnya harta. Dan tak kalah pentingnya. pada saat saudara iparnya menjabat khalifah - Walid ibn Abdul Malik (89-96 H) -, Umar dipercaya untuk menduduki jabatan gubernur di Madinah. Dari sini Umar mengawali karirnya dalam pemerintahan. Atas perintah khalifah, diperluaslah bangunan Masjid Nabawi di Madinah dan Masjid Haram di Mekkah oleh Umar. Dalam usaha perluasan kedua masjid itu ia memperoleh reputasi baik di Madinah. Namun akibat terjadinya perselisihan antara Umar dengan al-Hajjaj - saudara khalifah Walid -, akhirnya Umar direcal dari jabatan gubernur yang telah dijalaninya selama kurang lebih 7 tahun (86H—93H). Setelah peristiwa itu Umar berusaha menjauhkan diri dari urusan politik dan pemerintahan (keduniawian) dan memperbanyak tafakkur dan taqarrub kepada Allah (zuhud).
Walaupun pada masa kekhalifahan Walid, Umar sudah tidak dipercaya lagi duduk dalam kursi pemerintahan, akan tetapi pada saat Sulaiman ibn Abdul Malik naik tahta - menjabat Khalifah Umayyah yang ketujuh, - Umar II dipercaya kembali dalam pemerintahan untuk memegang jabatan al-Katib (sekretaris), Dalam masalah suksesi kekhalifahan, Khalifah Sulaiman mengharapkan anaknya yang bernama Ayyub sebagai putra mahkota dapat menggantikannya, tetapi ia meninggal dunia sebelum diangkat menjadi khalifah. Sehingga tidak ada lagi putra mahkota sepeninggal Ayyub. Maka ketika khalifah Sulaiman jatuh sakit, Ia mengundang seorang wazir, Raja bin Haiwah, untuk meminta pertimbangan tentang siapa pengganti yang pantas untuk menduduki jabatan khalifah. Raja bin Haiwah memberikan pertimbangan bahwa Umar Ibn Abdul Aziz-lah orang yang pantas untuk jabatan tersebut. Akhirnya atas permufakatan itu diangkatlah Umar Ibn Abdul Aziz untuk menjadi khalifah penggantinya dan Yazid bin Abdul Malik ditunjuk sebagai calon khalifah sesudah Umar ibn Abdül Aziz.
Pada pertengahan tahun 101 H/720 M setelah pemerintahan Umar II mendekati usia 2,5 tahun, Ia jatuh sakit. Kemudian dalam waktu beberapa minggu Ia meninggal, tepatnya pada tanggal 9 Februari 720 M (Rajab 101 H) dikubur di Dair Simon, dekat Hims. Sehingga tampuk kekhalifahan pun diambil alih oleh saudara sepupunya, yakni Yazid (anak Abdul Malik), yang telah ditunjuk oleh Sulaiman sebagai pengganti Umar II.
Meskipun masa kekhalifahan Umar ibn Abdul Aziz II relatif singkat, namun mempunyai hasil yang cukup besar bagi kesejahteraan rakyatnya. Maka wajar bila kaum muslimin menganggapnya sebagai Khamis al-Khulafa al-Rasyidin.

C. Kepribadian Umar ibn Abdul Aziz
1. Kesederhanaan dan Kejujuran
Umar ibn Abdul Aziz adalah seorang keturunan bangsawan yang memiliki kedudukan terhormat. Ia hidup dilingkungan keluarga yang gemerlap harta. Sebelum menjadi khalifah, kehidupan Umar II penuh dengan kekayaan dan kebahagiaan dunia. Ia termasuk orang yang gemar memakai wangi-wangian, pakaian sutra, dan sebagainya, yang saat itu layak dipakai oleh para pembesar istana dan para putra mahkota. Hal itu cukup wajar, karena ia tinggal di lingkungan keluarga istana feodal yang mempunyai penghasilan yang begitu melimpah. Namun setelah diangkat menjadi khalifah, justru sebaliknya. Di kala usai pemakaman khalifah Sulaiman, Umar II ditawari kendaraan yang bagus berupa kuda tunggangan yang penuh dengan hiasan-hiasan. Tetapi ia menolaknya, dan kuda-kuda itu dijualnya dan uangnya dimasukan ke Baitul Mal (kas negara). Kata Ahmad Syalabi, itulah awal perubahan sikap Umar II dari kemegahan menuju kesederhanaan.
Semenjak menjadi khalifah, kehidupan rumah tangganya Umar II begitu sederhana. Pakaian-pakaian halus ia tanggalkan diganti dengan pakaian yang lebih kasar. Tanah-tanah perkebunan yang Ia miliki ia jual, perhiasan-perhiasan istrinya ia jual dan hasilnya di masukkan ke Baitul Mal. Syed Mahmuddunnasir menyebut “He was the symbol of simplicity” Itulah awal keberhasilan Umar II terhadap diri sendiri yang merupakan awal kesuksesannya sebagai khalifah.
Di Samping itu, Umar II juga seorang khalifah yang terkenal tawadhu’ dan rendah hati. Ia adalah seorang yang jujur, adil, dan tidak mau menggunakan harta negara untuk interest pribadinya. Ia hanya mengambil yang menjadi haknya. Umar II adalah teman orang miskin baik dikala bahagia maupun susah. Menurut Abul Hasan Ali Nadwi, Umar itu adalah seorang khalifah Umayyah yang memiki moral dan spiritual, yang sekaliber dengan empat khalifah pertama (Khulafa al-Rasyidin). Begitu besar kcsalehannya sehingga kaum khawarij yang fanatik sekalipun mengakuinya sebagai salah seorang khalifah Islam yang sah. Dengan demikian, Umar II layak mendapat gelar Khamis al-Khulafa al-Rasyidin.
2. Keadilan dan Kebenaran
Umar II adalah seorang khalifah yang adil dan penegak kebenaran. Ia sangat memperhatikan rakyatnya agar terhindar dari kedzaliman para penguasa. Kesibukan dalam hidupnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Tanah-tanah yang telah dirampas oleh penguasa sebelumnya dikembalikan kepada pemiliknya. Ia juga selalu memperingatkan para gubernurnya agar bertindak dengan adil atau berhenti (direcal). Ia tidak menginginkan adanya pemimpin-pemimpin yang dzalim dan amil-amil yang kejam. Kalau terbukti dengan pe”recal”an para gubernur yang telah menyalah gunakan wewenang, seperti Usamah bin Zaid al-Tarukhi, seorang yang terkenal banyak melakukan tindakan-tindakan yang melampaui batas; Yazid bin Abi Muslim, gubernur Afrika Utara; Shalih bin Abdi Rahman. gubernur Irak; dan Aksaqafi, gubernur Andalus; serta Adi bin Arta’ah, gubernur Bashiah.
Menurut Hasan Ibrahim Hasan, Umar ibn Abdul Aziz dijuluki juga sebagai Umar II. Karena Ia memiliki kesamaan sikap, baik dalam hal keadilan maupun kesederhanaan (zuhud) Sebagaimana juga dikatakan oleh Philip K. Hitti, suatu pemahaman yang salah dan keliru bila Umar ibn Abdul Aziz dianggap sebagai Umar II setelah Umar I karena Umar II adalah cucu - keturunan dari garis ibu - dari Umar I. Tetapi bukan karena keadilan dan kesederhanaannya.
D. Kebijakan dan Reformasi Umar ibn Abdul Aziz
1. Kebijakan dalam Ilmu Pengetahuan (Hadits)
Pada masa Nabi Saw, hadits belum dikodifikasikan secara resmi sebagaimana al-Qur’an. Hadits masih merupakan hafalan para sahabat. Khalifah Umar ibn Khattab - Tsani al-Khulafa al-Rasyidin - sendiri tidak suka terhadap orang yang memperbanyak riwayat hadits tanpa ada saksi. Hal itu untuk menghindari pemalsuan hadits. Kemudian pada masa tabiin, muncul inisiatif untuk mengkodifikasikan hadits. Inisiatif ini di prakarsai oleh Umar ibn Abdul Aziz, khalifah Umayyah yang kedelapan. Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa pengkodifikasian hadits secara resmi dimulai oleh Amir Mesir, Abdul Aziz bin Marwan, ayah Umar ibn Abdul Aziz sendiri. Namun masa itu masih bersifat interest pribadi. Sedangkan Umar ibn Abdul Aziz berusaha untuk kepentingan umum. Dengan demikian, Umar ibn Abdul Aziz-lah yang pertama secara resmi mengkodifikasikan hadits.
Pengkodifikasian hadits ini dilatarbelakangi rasa kekhawatiran hadits akan lenyap dan yang lebih utama adalah karena timbulnya hadits palsu. Untuk itu, Umar II memerintahkan kepada Abu Bakar bin Huzain (wali Madinah), Umroh bin Abdurrahman Al An Shariyah dan Al Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar, serta kcpada seluruh warga negera untuk mencatat hadits. Di samping itu, Umar II juga mengintruksikan kepada seluruh penduduk untuk mempelajari hadits. Dengan kebijakan tersebut begitu besar sumbangan Umar II dalam usaha melestarikan hadits.
2.Kebijakan dalam Bidang Agama
Dalam usaha dakwah Islam, Umar II membuat kebijakan baru (new policy) di wilayah Khurasan dan Asia Tengah, Di Wilayah tersebut dibebaskannya beban pajak baik kharaj rnaupun Jizyab bagi muslim non Arab (Mawali) dan mereka diberi kedudukan yang sama dengan Muslim Arab. Ketika gubernur Mesir mengadu kepada khalifah Umar II tentang merosotnya penghasilan pajak yang telah ditentukan kepada rakyat, Umar II menjawab “Allah sent his, prophet as a missionary, not as a tax gatherer”. Ia juga melarang dikatakan bahwa : “Muhammad (SM) was sent to call men to the faith, not to circumcise them”. Pada waktu yang sama ia juga melindungi orang Kristen tetapi mereka - orang Kristen - tidak diizinkan untuk mendirikan kembali gereja mereka. Hal ini terbukti ketika orang Kristen Damakus memohon untuk diberikan kembali gereja St. John yang dirubah oleh Walid menjadi masjid. Umar II tidak dapat mengabulkan permohonan mereka. Akan tatapi, mereka di izinkan untuk tetap memakai dan memiliki gereja St. Thomas yang bukan milik mereka.
Ketika orang-orang Yahudi Najran mengadu kepada Umar II tentang pajak yang sangat berat. Umar II menurunkan upeti mereka dari 2000 potong manjadi 200 potong. Karena mayoritas dari mereka telah masuk Islam, sehingga jumlah meraka telah berkurang dari 40.000 menjadi 4.000. Sekalipun Umar II adalah seorang muslim ortodoks, Ia tidak melupakan belas kasihan dan keadilan bagi semua rakyat. Ia sangat toleran terhadap seluruh rakyatnya, tidak hanya kepada sesama muslim tetapi Juga pada orang-orang Kristen dan orang-orang Yahudi.
3. Reformasi dalam Bidang Politik dan Ekonomi
Suatu negara tidak akan berjalan dengan baik selama para penguasa bertindak sewenang-wenang penuh dengan kedzaliman. Semua aturan yang baik tidak akan berjalan mulus kalau pemegang aturan itu tidak baik. Oleh karena itu, faktor manusia sangat panting. Maka demi tegaknya kekhalifahan, Umar II membuat, kebijakan baru dengan memerintahkan para gubernur agar tidak seorang pun, kecuali orang-orang Islam diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan yang bertanggung jawab. Ia menetapkan kekuasaan pada orang muslim (bukan Arab sebagai basis). Sebagaimana teori ‘The Great Men” yang dikemukakan oleh Thomas Carlyle bahwa sejarah itu dibuat oleh orang-orang besar.
Umar II adalah seorang pengobar semangat perubahan (reformasi) dalam Islam. Ia, juga orang yang paling cakap di antara 14 khalifah Umayyah. Ia adalah khalifah yang tiada bandingannya, baik dari khalifah-khalifah sebelumnya maupun khalifah-khalifah sesudahnya dalam Daulah Bani Umayyah. Untuk itu layak bila Umar II dianggap sebagai Khamis al-Khulafa al-Rasyidin.
Sebelum Umar II diangkat menjadi khalifah, terjadi ketegangan antara suku Qays dan Kalb. Ketika Umar II menjabat khalifah, ketegangan antara kedua suku itu dapat diatasi. Selain itu, demi ketentraman dan kedamaian, Umar II memerintahkan agar peperangan-peperangan dengan kalangan non muslim dihentikan. Untuk menghindari peperangan, Umar II memerintahkan kepada panglima besar Musalama untuk menghentikan pengepungan Konstantinopel dan pulang ke Asia Kecil dan Syria. Umar II juga bersikap lunak terhadap kaum khawarij yang dipimpin Syauzab. Beliau memerintahkan kepada gubernur wilayah Hijaz agar tidak memerangi orang khawarij, kecuali bila mereka mengadakan kerusuhan. Namun begitu, setelah Umar II wafat, ketegangan di antara kedua suku itu semakin meningkat, ditambah lagi dengan ketegangan antara Muslim Arab dan Mawali.
Menurut al-Shaban, Umar II juga adalah seorang yang realistik dan tokoh yang fanatik. Sebelum, Ia diangkat menjadi khalifah, banyak tradisi buruk yang dapat memecah belah serta melemahkan persatuan umat Islam yang dirintis oleh Muawiyah yang kemudian diteruskan sampai khalifah Sulaiman, seperti cacian dan laknatan terhadap Ali ibn Abi Thalib di dalam setiap khutbah Jum’at. Padahal Ali adalah kerabat Rasulullah, kemenakannya, menantunya dan seorang pemuda yang pertama masuk Islam. Cacian dan laknatan itu tidak hanya di masjid Damaskus, tetapi juga di wilayah Hijaz. Hal ini menimbulkan dendam keluarga Syi’ah. Sehingga dari masa Muawiyah sampai Sulaiman, tidak adanya kedamaian di kalangan rakyat. Ketika Umar II menjabat khalifah, tradisi buruk itu dihapuskan. Kebiasaan melaknat Ali dalam setiap khutbah diganti dengan bacaan surat An Nahl ayat 90. Umar menjadikan mimbar masjid sebagai mimbar perdamaian. Semua itu dilakukan demi persatuan dan kesatuan Umat.
Pada masa Umar II, kedudukan Mawali sebagai penengah antara orang-orang Arab Muslim dan non Muslim diproklamirkan bahwa mereka ditempatkan pada kedudukan yang sama dengan orang-orang Arab. Di bawah pemerintahannya, orang-orang Mawali dibebaskan dari pajak-pajak kharaj dan Jizyah, dan dibuat konversi bahwa mereka dapat pensiun dari negara. Namun mereka dilarang membeli tanah di negeri-negeri asing. Sedangkan bagi para muallaf dibebaskan dari Jizyah, tetapi tetap membayar kharaj Hal ini merupakan stimulus yang besar terhadap orang-orang non muslim untuk masuk Islam. Dengan begitu, bagi muslim Arab dan Mawali dibebaskan dari semua bentuk pajak, kecuali zakat. Dalam administrasi pajak, Umar II berusaha merekonstruksi sistem yang pernah diperkenalan oleh Umar I. Inilah ciri baru dan mulia di dalam sistem pemerintahannya.
Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya, Umar II membuat aturan mengenai timbangan dan takaran, membasmi cukai dan kerja paksa, perbaikan tanah-tanah pertanian, irigasi, penggalian sumur-sumur, pembangunan jalan-jalan dan menyediakan tempat-tempat penginapan bagi musafir.
Dengan demikian, pada masa pemerintahannya yang singkat itu Umar II berusaha mementingkan kepentingan umum (rakyat) daripada kepentingan pribadinya. Hal ini terbukti dengan kehidupannya yang sederhana, berbeda ketika Ia menjabat gubernur Madinah yang hidup penuh dengan kekayaan dan kemegahan.
E. Kesimpulan
Umar ibn Abdul Aziz adalah seorang khalifah Umayyah yang memiliki kepribadian yang baik. Ia seorang yang saleh, jujur, sederhana, dan teguh dalam pendirian. Ia adalah seorang yang memiliki moral dan spiritual yang sekaliber dengan empat khalifah pertama (Khulafa al-Rasyidin). Selain itu, ia juga seorang pengobar semangat perubahan dalam Islam (reformer). Dalam masa pemerintahannya yang singkat, ia berusaha menghidupkan kembali pola (sistem) pemerintahan Khulafa al-Rasyidin terutama dalam masalah pajak. Pada masanya tidak ditemukan pertumpahan darah, intrik (tipu daya) dan penghianatan. Kehidupan rakyat penuh dengan keadilan dan kemakmuran. Sehingga layak bila kaum muslimin menganggap ia sebagai Khamis al-Khulafa al-Rasyidin.

DAFTAR PUSTAKA

Ali. K. A Studies of Islamic History, New Delhi: ldarah Adabiyah Delli, 1981.
Al Shaban, Islamic History, New York: Combridge at the University Press, 1971.
Bockelrnann. Curl. History of the Islainic Peoples. London and Hanley; Routledge and Kegan Paul, .1.948.
Encyclopedia Americana International Edition, Vol.27, Connecticut; Grolier Incorporated, 1992.
Endress, Gerhard. An Introduction to Islam, Trans. Carole Hillenbrand, New York: Columbia University Press, t t.
Esposito, John L. (ed). The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Vol.4, New York: Oxford University Press, 1995.
Grunebaum, G.E. Von. Classical Islam: A history 600-1258, Trans. Katherine Watson, Chicago: Aldine Publishing Company, 1970.
Hasan, Ibrahim Hasan. Tarikh al Islami al-Siyasi wa al-Din wa al-Tsaqofi wa al-Ijtimai, Mesir: Maktabah al Nahdah, 1974.
Hitti. Philip K. History of the Arabs. tanpa kota: The Macmillan Press Ltd, 1974.
Ibn Atsir, Al-Kamil fi Tarikh, Jilid IV, Beirut: Dar Sodir, 1385 H/1975 M.
Lapiduc, Ira M. A History of Islamic Societies. New York: Cambridge University Press, 1988.
Mahmudunnasir, Syed. Islam its Concepts and History, New Delhi: Kitab Bhavan, 1981.
Muir, Sir William. The Caliphate its Rise, Decline, and Fall, London: Darf Publishers Ltd, 1984.
Nodwi, Abu Hasan Ali, Islam and The World, Lucknow: Academy of Islamic Research and Publications, 1980.
Nasution. Harun (ed). Ensiklopedi Islam, Jilid III, Jakarta: Departemen Agama RI, PTA/lAIN Jakarta, 1987/1988.
Syalahi, Ahmad. Al-Tarikh al-Islami wa Hadharah al-Islamiyah, Juz II, Mesir: Maktabah al Nahdlah, 1978.
Tim. Al-Our’an dan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Semarang: Toha Putra, 1989.
Zaydan’s, Jurji. History of Islamic Civilization, Trans. D.S. Margoliouth, New Delhi: Kitab Bhavan, tt.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar